JATIMTIMES - Pembahasan Raperda Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat (Trantibum) terus berlanjut.
Fraksi Partai NasDem DPRD Provinsi Jawa Timur (Jatim) menilai revisi Perda Trantibum merupakan momentum untuk memperkuat kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jatim. Hal ini disampaikan juru bicara (jubir) Fraksi NasDem Haris Wicaksono Wibowo.
Baca Juga : Sosialisasi Pembangunan 2026, Wali Kota Blitar Mas Ibin Blusukan ke Kelurahan Sananwetan dan Plosokerep
"Dari sisi politik hukum daerah, Fraksi memandang bahwa perubahan Perda ini merupakan momentum untuk memperkuat kapasitas Satpol PP sebagai ujung tombak penegakan Perda," kata Haris pada rapat paripurna di Gedung DPRD Jatim, Selasa (25/11/2025).
Ia menilai, pendapat gubernur terhadap raperda tersebut belum secara tegas mengarahkan kebutuhan peningkatan SDM, penggunaan teknologi informasi, integrasi pangkalan data, dan pengembangan unit analisis digital yang diperlukan untuk memantau dan menindak gangguan di ruang siber.
"Tanpa penguatan kelembagaan, raperda ini akan sulit diimplementasikan secara efektif karena beban penegakan semakin kompleks sementara kapasitas lapangan tidak bertambah signifikan," tandasnya.
Fraksi NasDem juga memiliki catatan terkait wacana pembentukan relawan digital. Haris menekankan, relawan digital hanya boleh dilibatkan sebagai penyampai informasi, penggerak literasi, dan pemberi laporan, bukan sebagai pelaksana penegakan hukum.
"Tanpa batas kewenangan yang jelas, relawan digital berpotensi menciptakan praktik persekusi, vigilantisme, atau tindakan represif berbasis moralitas subjektif yang bertentangan dengan prinsip negara hukum," tandasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa perubahan regulasi ini tidak dapat lagi dilihat sebagai sekadar pembaruan administratif. Tetapi juga sebagai respons fundamental terhadap perubahan sosial yang semakin cepat, kompleks, dan tidak jarang mengancam integritas sosial di Jatim.
Fraksi NasDem berpandangan bahwa persoalan judi online dan pinjol ilegal, yang disebutkan oleh gubernur sebagai salah satu alasan perubahan perda, tidak dapat diselesaikan semata-mata melalui patroli digital atau penegakan larangan.
"Persoalan ini bersumber dari ketidaksiapan masyarakat menghadapi ekosistem digital, lemahnya literasi keuangan, kurangnya regulasi preventif yang menahan laju aplikasi ilegal, serta absennya mekanisme perlindungan bagi keluarga yang terdampak," paparnya.
Baca Juga : Libatkan Generasi Muda, Puguh DPRD Jatim Dukung Zakat Goes to Campus
Dikatakan, banyak warga jatuh dalam jerat utang, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kehilangan harta benda akibat tekanan ekonomi yang semakin berat. Fraksi NasDem menilai bahwa raperda ini harus memuat pendekatan yang jauh lebih humanis, komprehensif, dan sistemik.
"Raperda harus memberikan kerangka yang mengatur edukasi publik, pendampingan keluarga terdampak, serta mekanisme kanal aduan khusus di level provinsi yang terintegrasi dengan aparat penegak hukum. Tanpa langkah-langkah preventif dan kuratif, penindakan semata hanya akan menyentuh permukaan tanpa menyelesaikan luka sosial yang lebih dalam," urainya.
Sementara itu, terkait fenomena penyalahgunaan pengeras suara berdaya tinggi, yang dikenal sebagai sound horeg, pihaknya menyebut bahwa gangguan suara bukan lagi sekadar soal ketertiban, tetapi sudah menyentuh aspek kesehatan, psikologis, dan hak warga atas lingkungan yang nyaman.
"Banyak masyarakat mengeluhkan tidak adanya parameter pasti dalam penegakan larangan penggunaan pengeras suara sehingga aparat sering kali ragu dalam menindak atau justru terjadi ketegangan sosial antarwarga," tuturnya.
Karena itu, ia menegaskan bahwa perubahan raperda ini harus menetapkan standar objektif seperti batas desibel, radius suara, standar teknis alat ukur, serta klasifikasi kegiatan yang diperbolehkan menggunakan pengeras suara.
"Tanpa pengaturan teknis yang jelas, aparat Satpol PP akan kembali bekerja berdasarkan persepsi subjektif, yang berpotensi menimbulkan konflik antara aparat dan masyarakat," pungkasnya.
