Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Poling Pilkada 2024
Serba Serbi

Dari Kadipaten Madiun ke Istana Mataram: Kisah Panembahan Juminah dan Perang Melawan VOC

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

06 - Sep - 2025, 11:54

Placeholder
Seorang abdi dalem Kasunanan Surakarta berdiri di kaki tangga kompleks Astana Giriloyo, Bantul, Yogyakarta, tempat Panembahan Juminah dimakamkan. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Jawa awal abad ke-17 menyimpan banyak lapisan yang rumit: intrik politik dinasti Mataram, pergulatan antara pusat dan daerah, serta perlawanan terhadap kekuatan kolonial yang baru menancapkan kuku di Nusantara. 

Di tengah arus besar itu, muncul sosok Panembahan Juminah, seorang bangsawan Mataram sekaligus bupati Madiun yang jejaknya menghubungkan tiga dunia: kadipaten pedalaman, istana pusat Mataram, dan gelanggang perang melawan Kompeni Belanda di Batavia. Ia adalah figur yang lahir dari darah biru Madiun dan Mataram, dibesarkan dalam pusaran ambisi politik Panembahan Senapati, dan akhirnya menjadi salah satu tokoh kepercayaan Sultan Agung. Kisahnya menyingkap bagaimana keluarga bangsawan kadipaten diintegrasikan ke dalam sistem kerajaan, serta bagaimana dendam sejarah dan spiritualitas Jawa membentuk perlawanan terhadap kolonialisme.

Dari Retna Dumilah ke Madiun: Jejak Keluarga Juminah

Senapati

Panembahan Juminah terlahir dengan nama Raden Mas Bagus, putra Panembahan Senapati dari permaisuri kedua, Raden Ayu Retno Dumilah. Sosok sang ibu bukanlah perempuan biasa. Retno Dumilah adalah putri sulung Pangeran Timur, Adipati Madiun I, penguasa yang menjadikan Madiun sebagai poros penting dalam politik Jawa Timur pedalaman.

Pernikahan antara Senapati dan Retno Dumilah jelas merupakan pernikahan politik: sebuah ikatan yang menyatukan trah Mataram dengan darah bangsawan Madiun. Dari pernikahan inilah lahir anak-anak yang kelak menempati posisi strategis di kadipaten-kadipaten penting, termasuk Madiun sendiri. Retno Dumilah bahkan tampil dalam panggung militer. Ketika Senapati menyerang Pasuruan, ia turut diboyong dalam pertempuran itu sebagai simbol bahwa darah bangsawan Brang Wetan kini menyatu dengan ekspansi politik Mataram.

Raden Mas Bagus, putra Retno Dumilah, setelah dewasa bergelar Pangeran Balitar I. Ketika kakaknya, Raden Adipati Pringgalaya, wafat, ia diangkat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Adipati Juminah (1601–1613). Meski sempat digadang-gadang sebagai calon penerus takhta Mataram menggantikan ayahandanya, Panembahan Senapati, takdir politik menempatkannya sebagai penguasa Madiun.

Baca Juga : Gerhana Bulan Total 7 September 2025, Begini Cara Nonton Langsung & Streaming

Untuk memahami kedudukan Panembahan Juminah, perlu ditarik garis ke atas, menuju kakeknya dari pihak ibu: Pangeran Timur, Panembahan Madiun I. Ia terlahir dengan nama Pangeran Maskumambang, putra bungsu Sultan Trenggono, raja Kesultanan Demak, dari permaisuri Kanjeng Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga dengan Siti Zaenab, putri Syekh Siti Jenar. Dari jalur ini tampak jelas bahwa darah kebangsawanan Panembahan Juminah mengalir dari dua arah sekaligus: trah para wali melalui Sunan Kalijaga, dan trah raja-raja Islam awal Jawa melalui Kesultanan Demak.

Pangeran Maskumambang menikah dengan putri Pangeran Sekar Sedo Lepen, yang bergelar Ratu Timoer. Dari pernikahan ini ia kemudian diangkat sebagai Bupati Madiun oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), Raja Pajang, dengan gelar Panembahan Mas atau Panembahan Timoer. Penunjukan ini tidak lepas dari ikatan keluarga: kakaknya, Kanjeng Ratu Mas Cempaka, adalah permaisuri Sultan Pajang.

Dari perkawinannya dengan Ratu Timoer, Panembahan Timur menurunkan sejumlah putra-putri bangsawan penting, di antaranya Raden Ayu Retno Dumilah yang kelak menikah dengan Panembahan Senapati dan melahirkan Panembahan Juminah. Selain itu, dari garwa pangrembe, ia juga menurunkan banyak keturunan yang menyebar di berbagai wilayah Mataram, menunjukkan betapa luas jejaring genealoginya.

Pada mulanya, Madiun merupakan daerah bawahan Pajang. Namun setelah Pajang melemah, Mataram berusaha memperluas kekuasaan dengan menundukkan Madiun. Dari proses inilah lahir ikatan politik berupa pernikahan antara Panembahan Senapati dan Retno Dumilah. Dalam tradisi lokal, perlawanan rakyat Madiun terhadap Mataram dikenang dalam tarian rakyat “Bedhah Madiun.”

Anak-anak yang Jadi Bupati: Masa Kanak-kanak Politik

Setelah Madiun resmi jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, pemerintahan kadipaten itu sempat dipegang oleh Mas Rangsang selama setahun dan Mas Sumekar sekitar lima tahun. Namun, tradisi Mataram kemudian menempatkan anak-anak Retno Dumilah sebagai bupati, meskipun mereka masih berusia kanak-kanak. Pertama, Raden Mas Julig dilantik sebagai Raden Tumenggung Pringgalaya (1595–1601). Sesudahnya, giliran Raden Mas Bagus yang diangkat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Adipati Juminah (1601–1613).

Karena usia mereka masih belia, dibutuhkan seorang pengasuh atau wali pemerintahan. Jabatan itu dipercayakan kepada Raden Mas Bagus Pethak, putra Pangeran Mangkubumi, kakak Panembahan Senapati. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana Mataram memadukan legitimasi darah biru dengan mekanisme pengawasan internal keluarga. Anak-anak Senapati dari Retno Dumilah ditempatkan di wilayah strategis, tetapi tetap dikawal oleh tokoh senior dari lingkaran dekat istana.

Menariknya, nama Raden Mas Bagus Pethak tercatat dalam dokumen resmi Pemerintah Kabupaten Madiun sebagai Bupati dengan masa bakti 1601–1613, bergelar Mangkunegara I.

Makam bupati Madiun

Mataram Pascakematian Hanyakrawati

Tahun 1613 menjadi titik balik penting. Susuhunan Hanyakrawati, putra Senapati, wafat secara tragis di Krapyak. Babad Jawa menyebut ia jatuh dari panggung perburuan, tetapi sumber lain menuding peran seorang abdi keturunan Italia bernama Juan Pedro, yang disebut-sebut dibujuk oleh Pangeran Puger. Intrik ini memperlihatkan rapuhnya dinasti Mataram pada masa transisi. Pengganti Hanyakrawati adalah putranya yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1646).

Pada masa inilah Adipati Juminah dipanggil ke istana pusat. Ia diberi posisi penting sebagai penasehat raja. Laporan De Haen, seorang utusan Belanda yang berkunjung ke Mataram, mencatat bahwa Sultan Agung tidak mengambil keputusan penting tanpa meminta nasehat para sesepuh yang dituakan, di antaranya Pangeran Adipati Juminah, Pangeran Puger, dan Pangeran Purbaya. Hal ini menunjukkan posisi Juminah bukan sekadar pejabat administratif, melainkan bagian dari lingkaran dalam penentu arah kerajaan.

Sultan Agung

Pemberontakan Pajang dan Tuban

Awal kekuasaan Sultan Agung diwarnai gejolak besar. Pada 1617 meletus pemberontakan di Pajang yang dipimpin Pangeran Benawa II—cucu Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) sekaligus pewaris sah trah Pajang. Benawa II, yang sejak lama mengelola kadipaten Jipang dan Pajang, masih menyimpan ambisi menghidupkan kejayaan lama Demak–Pajang. Tekanan sentralisasi Mataram dan desakan bangsawan membuatnya mengangkat senjata melawan kekuasaan pusat.

Untuk menumpasnya, Sultan Agung mengutus Pangeran Adipati Juminah bersama para pembesar Mataram memimpin pasukan. Babad Jawa maupun catatan kolonial menegaskan bahwa kehadiran Juminah dalam operasi militer ini memberi legitimasi sekaligus kekuatan moral bagi bala Mataram. Pertempuran berakhir dengan kekalahan Pajang; Benawa II melarikan diri, sementara wilayah Pajang dihancurkan dan dipaksa tunduk pada otoritas Mataram.

Kisah Benawa II bukan sekadar catatan pemberontakan, tetapi juga potret aristokrat pewaris Jaka Tingkir yang tersingkir dari sejarah resmi. Dalam dirinya mengalir darah Majapahit, Demak, dan Walisongo, menjadikannya simpul legitimasi politik sekaligus spiritual. Namun, setelah kalah dalam perlawanan, ia memilih jalan sunyi: menyepi, berkelana ke pusat-pusat spiritual seperti Giri dan Surabaya, dan akhirnya lenyap dari panggung politik. Sejarah resmi keraton memilih diam atas perannya, tetapi di tanah Panolan dan Pajang namanya tetap hidup dalam ingatan lokal sebagai pangeran yang kalah, namun tidak hilang.

Tidak hanya Pajang, tahun 1619 Mataram juga menghadapi pemberontakan Adipati Tuban. Sumber Jawa dan Belanda menyebut keterlibatan Pangeran Juminah dalam menumpas pemberontakan ini, serta dalam menghadapi perlawanan orang Sunda. Pola yang tampak adalah konsolidasi kekuasaan Sultan Agung dengan mengandalkan jaringan bangsawan trah Senapati-Retno Dumilah untuk memukul balik daerah yang mencoba melepaskan diri.

Benawa II

Pengepungan Batavia 1628–1629: Antara Ambisi dan Pengkhianatan

Namun, puncak peran politik dan militer Juminah terlihat ketika Mataram berhadapan dengan Kompeni Belanda di Batavia. Pada tahun 1628, Sultan Agung mengirim ribuan pasukan yang dipusatkan di Tegal untuk mengepung Batavia. Ambisinya sederhana: mengusir Belanda dari Jawa setelah mereka menolak ajakan Mataram untuk menyerang Banten. Akan tetapi, rencana itu gagal. Informasi bocor, dan VOC yang berpusat di Batavia telah bersiap menahan gempuran.

Sultan Agung tidak menyerah. Setahun kemudian, pada 1629, serangan kedua dilancarkan. Kali ini Pangeran Adipati Juminah mendapat peran penting sebagai salah satu pemimpin pasukan, bersama Tumenggung Singaranu dan Pangeran Mangkubumi. Namun sejarah mencatat pahit: serangan kedua pun gagal. Pengkhianatan di dalam barisan membuat pasukan tercerai-berai. Mereka yang pulang dengan selamat justru dihukum mati oleh Sultan Agung, karena dianggap gagal menjaga wibawa kerajaan.

Berbeda dengan banyak panglima lain, Juminah selamat dari hukuman. Kedudukannya yang istimewa sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung membuat posisinya tak tergantikan. Menurut Babad Mataram maupun catatan Belanda, namanya disebut di antara para panglima utama. Dari sisi historiografi, hal ini menunjukkan peran strategis Juminah sebagai simbol loyalitas keluarga Senapati terhadap proyek besar Sultan Agung: menyingkirkan VOC dari tanah Jawa.

Van Goens dan De Graaf mencatat bahwa setelah kegagalan pertama, banyak panglima yang dipancung, termasuk Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa, cucu Patih Mandaraka yang masyhur. Peristiwa tragis ini menimbulkan keresahan di dalam dan luar istana. Akan tetapi, setelah kegagalan serangan kedua, sikap Sultan Agung mulai lebih lunak. Panglima seperti Tumenggung Singaranu masih dapat kembali ke daerahnya meski dengan syarat tertentu, sementara tokoh seperti Juminah tidak dijatuhi hukuman. Hal ini memperlihatkan bahwa Sultan Agung mulai menyadari hukuman keras terhadap para panglima tidak lagi berguna, bahkan berisiko menimbulkan instabilitas politik.

Keterlibatan Juminah dalam ekspedisi Batavia, serta selamatnya ia dari hukuman, menegaskan posisinya yang unik dalam lingkaran kekuasaan Mataram: bukan sekadar panglima perang, tetapi juga figur keluarga yang menjaga kesinambungan politik dan spiritual dinasti.

Kotagede

Pembangunan Imogiri: Politik, Spiritualitas, dan Peran Panembahan Juminah

Baca Juga : Jejak Perang dalam Islam yang Terjadi pada Hari Sabtu

Kegagalan Sultan Agung mengusir VOC dari Batavia (1628–1629) menorehkan luka politik yang dalam. Legitimasi kekuasaan Mataram terguncang, sehingga raja harus segera memulihkan kewibawaannya. Salah satu langkah simbolik yang ditempuh adalah pembangunan kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.

Menurut Babad Alit, proyek besar ini mula-mula dipercayakan kepada dua tokoh utama: Panembahan Juminah (paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung) dan Pangeran Balitar. Pembangunan dimulai sekitar 1629–1630, bertepatan dengan masa sulit pasca kegagalan ekspedisi militer ke Batavia.

Mengapa pembangunan makam begitu penting? Dalam kosmologi politik Jawa, makam raja bukan sekadar tempat peristirahatan, melainkan pusat spiritual yang mengikat legitimasi kekuasaan. Dengan menempatkan makam di bukit tinggi, Sultan Agung menghidupkan kembali tradisi Jawa-Hindu yang menempatkan raja sebagai figur sakral yang menghubungkan dunia atas, dunia manusia, dan dunia leluhur.

Keputusan ini sekaligus menandai pergeseran dari tradisi lama Mataram. Sebelum Sultan Agung, raja-raja Mataram dimakamkan di dekat Masjid Kotagede, mengikuti praktik Islam yang menempatkan makam penguasa dekat komunitas dan pusat dakwah. Dengan Imogiri, Sultan Agung menggabungkan simbolisme Hindu-Jawa lama dengan spiritualitas Islam, memperkuat klaimnya sebagai raja dunia sekaligus raja gaib.

Panembahan Juminah, atau Raden Mas Bagus Suratani, adalah putra ke-18 Panembahan Senapati. Ia bukan panglima perang utama, tetapi catatan Serat Kandha menyebut keterlibatannya dalam pengepungan Tuban (1619) dan operasi militer lain. Kehadirannya dalam pengepungan Batavia bahkan dicatat Belanda, meski lebih karena statusnya sebagai paman Sultan Agung.

Sultan Agung menunjuk Juminah mengawasi pembangunan awal makam di Girilaya. Tugas ini sangat strategis: bukan sekadar administratif, tetapi juga penegasan peran Juminah sebagai penghubung antara politik praktis dan spiritualitas dinasti. Material terbaik dikerahkan, termasuk kayu wungle dari Palembang, sebagaimana dicatat Residen Belanda pada 1641.

Namun sebelum proyek tersebut rampung, Juminah wafat pada tahun Jawa 1565 atau sekitar 1643–1644 Masehi, dalam usia 52 tahun, dan dimakamkan di Bukit Girilaya atas perintah Sultan Agung. Peristiwa ini menjadi titik balik penting: Sultan Agung kecewa karena bukan dirinya yang pertama dimakamkan di lokasi sakral itu. Kekecewaan tersebut mendorongnya membangun kompleks pemakaman baru di sebuah bukit yang lebih tinggi, yakni Imogiri.

Juminah

Faktor keluarga juga berperan. Juminah adalah suami kedua Ratu Mas Hadi, ibu Sultan Agung, sehingga ia bukan hanya paman, melainkan juga ayah tiri sang raja. Kedekatan inilah yang membuat peran Juminah begitu penting dalam fase awal pembangunan makam dinasti.

Pembangunan Imogiri dilaksanakan dengan teliti. Selain kompleks pemakaman di puncak bukit, di kaki gunung dibangun dalem dari batu sebagai pesanggrahan Sultan Agung saat berkunjung. Proyek besar ini mengerahkan ribuan tenaga, dengan logistik yang luas hingga ke luar Jawa.

Menurut penulis, pembangunan Imogiri pada masa sulit merupakan prestasi luar biasa. Di tengah krisis pangan akibat perang dengan VOC, Mataram masih mampu memobilisasi sumber daya besar untuk proyek simbolik. Hal ini bukan hanya menegaskan kemampuan organisasi negara, tetapi juga mengembalikan wibawa Sultan Agung yang sempat runtuh di mata bangsawan dan rakyat.

Sultan Agung wafat pada 1646 dan dimakamkan di Imogiri. Sejak saat itu, Imogiri menjadi makam resmi raja-raja Mataram hingga keturunan terakhirnya. Dengan demikian, Panembahan Juminah, meskipun wafat lebih awal, tetap memainkan peran penting dalam lahirnya salah satu situs paling sakral dalam sejarah Jawa.

Makam Imogiri bukan hanya kuburan, melainkan monumen kosmologi politik Jawa: simbol perpaduan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi dinasti. Pembangunan ini memperlihatkan bagaimana kegagalan perang dapat ditebus melalui simbol, dan bagaimana tokoh-tokoh seperti Juminah, meskipun tak banyak disebut sebagai panglima besar, menjadi figur kunci dalam transformasi politik dan spiritual kerajaan Mataram.

Imogiri

Wafat dan Warisan

Meski wafat lebih awal, warisan Juminah tidak hilang. Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, yang merupakan janda Panembahan Hanyakrawati sekaligus ibunda Sultan Agung, lahir keturunan yang menempati posisi penting dalam jaringan politik dan spiritual Jawa.

Salah satunya adalah Raden Ayu Djurumayem yang menikah dengan Panembahan Jurumayem. Dari jalur lain lahir Pangeran Adipati Balitar yang menurunkan garis bangsawan Madiun. Dari keturunan ini muncul Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III yang dimakamkan di Kuncen, Madiun, kemudian berlanjut pada Pangeran Arya Balitar IV yang dimakamkan di Astana Nitikan, Yogyakarta. Dari Pangeran Balitar Tumapel III lahir pula Raden Ayu Puger yang kemudian bergelar Ratu Mas Blitar, permaisuri Sunan Pakubuwana I Kartasura. Dari perkawinan ini lahir Sunan Amangkurat IV, Pangeran Arya Blitar (Raden Mas Sudomo), dan Panembahan Purbaya. Dengan demikian, darah Juminah tetap mengalir dalam trah istana Surakarta hingga abad ke-18. Selain itu, keturunannya juga mencakup Raden Haryo Suroloyo serta Raden Ayu Kajoran yang menikah dengan Pangeran Kajoran. Dari perkawinan terakhir ini lahir garis keturunan yang kelak terhubung dengan istana Mataram, bahkan salah satu putrinya menjadi permaisuri Amangkurat I dan menurunkan Sunan Pakubuwana I.

Dengan garis keturunan tersebut, Panembahan Juminah bukan hanya dikenal sebagai tokoh militer dan politik, tetapi juga dihormati sebagai leluhur penting bagi dua jalur trah istana, yakni Mataram Kartasura–Surakarta dan keluarga bangsawan Madiun. Ia bahkan menjadi leluhur dinasti Mangkunegaran dan Pakualaman melalui keturunannya, Ratu Mas Blitar. Perannya sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, pengawas pembangunan Imogiri, serta panglima dalam penyerbuan Batavia tahun 1629, semakin menegaskan posisinya yang istimewa dalam sejarah Jawa.

Sebagai permaisuri utama Pakubuwana I, Ratu Mas Blitar melahirkan tiga putra, yaitu Gusti Raden Mas Suryaputra yang kelak menjadi Sunan Amangkurat IV, memperluas percabangan Mataram dan menurunkan garis Mangkunegaran serta Pakubuwana II; Gusti Raden Mas Sasangka, atau Pangeran Adipati Purbaya, tokoh penting dalam perlawanan lokal sekaligus penopang legitimasi kerajaan; serta Gusti Raden Mas Sudomo, yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar, menjadi garis keturunan langsung Raden Ayu Wulan, ibu dari Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, pendiri Kadipaten Mangkunegaran.

Dari Amangkurat IV lahirlah Pangeran Mangkubumi, yang memproklamasikan diri sebagai Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta pada 1755, sementara salah satu putranya, Pangeran Notokusumo, kemudian mendirikan Kadipaten Pakualaman pada 1812.

Dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar lahirlah Raden Ayu Wulan yang menikah dengan Pangeran Arya Mangkunagara, putra Amangkurat IV, dan dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Mangkunegara I. Dengan demikian, Ratu Mas Blitar berdiri sebagai poros genealogis bagi hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18, menghubungkan garis darah, legitimasi spiritual, dan strategi politik yang menentukan arah sejarah Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.

Yogyakarta

Catatan Akhir

Panembahan Juminah bukanlah raja yang memerintah sendiri, tetapi jejak hidupnya menyingkap kompleksitas politik, militer, dan spiritual Jawa abad ke-17. Ia menunjukkan bagaimana kadipaten seperti Madiun diserap ke dalam tubuh kerajaan, bagaimana loyalitas keluarga menjadi alat legitimasi, dan bagaimana perang melawan VOC menjadi medan pengorbanan yang sarat simbolisme.

Peran Juminah sebagai paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, panglima dalam pengepungan Batavia, dan pengawas pembangunan Imogiri menegaskan bahwa kekuasaan Jawa bukan hanya soal takhta, melainkan juga tentang jaringan keluarga, simbol, dan legitimasi spiritual. Warisannya tidak hanya berupa prestasi militer atau politik, tetapi juga melalui keturunan yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18, termasuk garis Mataram Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.

Giriloyo

Melalui kisah Panembahan Juminah, kita melihat bahwa sejarah tidak hanya ditentukan oleh mereka yang duduk di atas takhta, tetapi juga oleh sosok-sosok yang berada di lingkar inti kekuasaan, yang memainkan peran strategis dalam menentukan arah politik, spiritualitas, dan nasib bangsa. Ia adalah cermin Jawa yang berjuang, berubah, dan bermimpi akan kedaulatan yang tidak selalu sepenuhnya tercapai.


Topik

Serba Serbi Panembahan Juminah Kesultanan Mataram kisah sejarah sejarah Mataram



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Madura Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy