Viral Fotografer Jalanan Potret Orang Berolahraga, Privasi Terancam hingga Isu Pelecehan Digital Mengintai?

Reporter

Binti Nikmatur

Editor

Dede Nana

29 - Oct - 2025, 12:46

Para fotografer yang memotret orang yang berolahraga. (Foto: X @ismailfahmi)

JATIMTIMES - Fenomena fotografer jalanan yang memotret orang berolahraga di kawasan Car Free Day (CFD) sedang jadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak warga mengaku tidak nyaman, bahkan merasa aktivitas olahraga mereka kini tak lagi bebas karena terus dibidik kamera tanpa izin.

Unggahan pengamat media sosial dari Drone Emprit Ismail Fahmi menjadi salah satu pemantik diskusi ini. Melalui akun X pribadinya, ia mengaku tidak nyaman dengan keberadaan para fotografer tersebut.

Baca Juga : Hujan di Jawa Timur Sampai Kapan? Begini Penjelasan BMKG

 “Sabtu lalu saya terkejut dengan banyaknya fotografer di kota ini. Rasanya di Jakarta juga ada tapi yang ini luar biasa. Creepy banget. Dan tidak nyaman.” tulis Ismail. 

Meski menegaskan tak ingin menuding para fotografer yang mencari nafkah, Ismail menilai fenomena ini perlu dibicarakan lebih serius. “Saya tidak ingin menjudge mereka. Ekonomi lagi sulit. Tapi saya juga merasa perlu ada diskursus terbuka,” tulisnya.

Isu privasi di ruang publik kembali mencuat lewat perdebatan ini. Banyak warga mempertanyakan, apakah memotret seseorang di jalan tanpa izin masih dianggap etis, meski dilakukan di ruang publik?

Menurut para warganet, tindakan tersebut bisa mengarah pada bentuk pelanggaran privasi, apalagi jika hasil foto kemudian disebar di media sosial tanpa persetujuan.

“Selain masalah privasi, ini bisa membuka peluang ‘pelecehan seksual digital’ bagi kaum perempuan, karena belum tentu semua FG itu real FG untuk sport photography. Ngeri kalau orang yang difoto sampai jadi ‘bahan’ (you know what I mean), apalagi AI semakin canggih,” tulis akun @seekra* di platform X. 

Warganet lain juga menyoroti dampak kemajuan teknologi yang bisa memperburuk situasi. “Tidak terbiasa difoto, apalagi sama orang asing. Dan AI sekarang sudah bisa ‘mewujudkan’ fetish aneh orang di luar sana. Saya harap para fotografer bisa paham, semua orang berhak atas privasinya,” tulis akun @Nazza**. 

Ada pula yang membagikan pengalaman pribadi di lapangan.

“Baru saja sore tadi di alun-alun kabupaten, saat lari, saya melihat seorang perempuan sudah memberi gestur tidak mau difoto bahkan bilang ‘punten ga difoto’, kang foto liar ini merespon dengan kalimat melecehkan sambil tetap memfoto. Betul pak, ini sudah meresahkan,” ungkap akun @moretea**.

Fenomena ini juga menyinggung isu lain yang tak kalah penting, yakni penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam dunia fotografi. AI kini mampu meningkatkan kualitas gambar, tapi di sisi lain juga membuka celah penyalahgunaan, seperti manipulasi wajah atau pembuatan konten tak pantas tanpa seizin objek yang difoto.

Baca Juga : Bocah 5 Tahun di Jombang Hilang Tercebur ke Sungai

“Saya menunjukkan AI itu sangat akurat,” ujar Ismail Fahmi, yang juga merupakan doktor linguistik komputasi dari Universitas Groningen, Belanda.

Ia menyebut, AI memang memudahkan pekerjaan fotografer, tapi tanpa regulasi dan etika yang jelas, bisa mengancam privasi seseorang. “Ada dunia nyata dan digital, dengan mudah aplikasi dengan AI, itu digital. Tapi ada dunia nyata yang perlu dilihat, ada privasi. AI membantu, memudahkan fotografer, tapi jangan dengan kemudahan ini mereka (yang dipotret) ter-abuse dengan tidak adanya aturan,” jelasnya.

Viralnya isu ini menunjukkan bahwa masyarakat ingin adanya aturan dan etika fotografi ruang publik. Banyak yang berharap, pemotretan di area seperti CFD tidak dilakukan sembarangan, apalagi untuk kepentingan komersial atau distribusi digital tanpa izin.

“Melihat sangat tinggi responnya (soal isu ini) pertanda warga pingin ada aturan, code of conduct, karena sudah meresahkan,” tulis Ismail dalam unggahannya.

Sejumlah netizen juga mendukung gagasan agar fotografer memiliki identitas resmi atau mengikuti standar perilaku tertentu saat bekerja di ruang publik. Dengan begitu, antara fotografer dan masyarakat bisa saling menghormati tanpa saling melanggar batas privasi.

Menurut Ismail, sebagian masyarakat bahkan mengaku enggan datang ke CFD karena merasa tidak nyaman. “Banyak sekali ternyata yang jadi enggan ke CFD karena males difoto-foto sama FG. Kanal X ini jadi tempat ekspresi bebas mereka,” tulisnya.

Di sisi lain, ada pula yang tidak keberatan difoto, terutama mereka yang memang senang berbagi potret diri di media sosial. “Kalau di IG, Thread, dan FB situasi beda. Lebih banyak yang suka difoto-foto sambil share foto-foto yang mereka beli,” tambah Ismail.